04 Agustus 2010

Surat Cinta Untuk Kakak

Desiran udara sejuk mulai menyusup halus, bintang – bintang masih bertaburan dengan sangat indah melewati detik-detik sepertiga malam. Sesekali ada pula ayam yang berkokok, bagai sebuah pengingat atau alarm yang telah Allah tetapkan untuk membangunkan hamba-Nya dan segera bersujud kepada-Nya. Katanya kalau ada ayam berkokok diantara waktu sepertiga malam, itu pertanda sang ayam melihat para malaikat turun ke langit dunia untuk mendo’akan orang – orang yang malamnya penuh cinta, orang – orang yang selalu rindu terbangun dari lelap tidurnya di antara detik-detik sepertiga malam dan kemudian sujud bermuhasabah. Wallahu’alam.
Sebagian orang sudah terbangun dini hari layaknya malam ini. Melepas satu per satu ikatan syaithan yang membelenggu pundak untuk tidak membiarkannya terbangun. Ya, seperti yang telah diriwayatkan bahwa syaithan memiliki 3 ikatan yang membelenggu pundak manusia setiap kali tidur. Dalam ikatan-ikatan itu syaithan membisikan “malam masih panjang, tidurlah kembali”, namun jika saja manusia terbangun dan ia tetap teguh maka ikatan pertama terlepas, kemudian jika manusia itu berwudhu maka ikatan kedua terlepas dan jika manusia itu sholat, maka terlepaslah ikatan yang ketiga. Alangkah nikmatnya dapat melepas semua ikatan-ikatan yang membelenggu itu, menghiasi catatan sepertiga malam dengan penuh cinta bersujud kepada Yang Maha Cinta.
“krek..krek..kreek…” gigi ghiza gemeretak seperti beradu antara satu gigi dengan gigi lainnya. Setiap kali tidur, dia seperti itu meski memang itu bukanlah secara sadar, tepatnya ghiza tidak menyadari giginya pada tiap kali tidur beradu dan berbunyi seperti itu. badannya mulai bergerak dan secara otomatis matanya ikut terbuka perlahan, ia langsung picingkan mata melihat jam Hello Kitty berwarna pink yang pernah dihadiahkan oleh sahabatnya ketika ia milad, jam itu menunjukan pukul 01.45 WIB. Ia terhanyut kembali dalam mimpi-mimpinya. Namun 30menit kemudian alarm dari handhonenya bergetar dan berdering perlahan dengan lantunan nasyid nantikanku dibatas waktu,  edcoustic. matanya masih ingin terpejam kembali, tetapi hatinya menginginkan ia tetap bangun membulatkan tekad melepas tiga ikatan yang membelenggu dan bersiap diri untuk bersujud dan bersyukur kepada Allah , Tuhan seru sekalian alam. Dengan cinta-Nya ia dapat terbangun kembali untuk menjalani apa yang telah Allah tetapkan untuknya dihari yang baru ini. Ia mantapkan hati untuk bangkit dari tempat tidurnya,  Alhamdulillahilladzii ahyanaa ba’da maa’amatanaa wailaihi nusuur.
Ghiza beranjak bangun dengan sesekali mengucek mata dengan punggung tangan kanannya. Ia sisir rambut panjang dan hitamnya yang terurai lalu mengikatnya dengan ikat rambut berwarna merah cerah, ia bergerak menuju almari yang berada di sudut kanan kamarnya untuk mengambil mukena, mukena yang telah terbalut sajadah dan berada didalam almari itu ia keluarkan dan di simpan di atas tempat tidur.
Perlahan pintu kamarnya ia buka, ghiza bergegas untuk berwudhu. Kamarnya berada diluar Rumah utama, memang rumahya di design dengan harus adanya ruangan terbuka, ya! kamar ghiza inilah yang berada diruang terbuka itu. selain ada kamar ghiza, ruang terbuka inipun dikelilingi oleh kamar Fadhil, Musholla keluarga, dapur dan dua kamar mandi. Rumahnya cukup luas sehingga rumah utama yang didalamnya terdapat ruang tamu, kamar orang tuanya, ruang TV dan perpustakaan atau sekaligus ruang kerja ayahnya terpisah dengan kamar ghiza sehingga ghiza dapat merasakan Hembusan angin yang terasa menyejukan hingga sejuknya sampai ke hati pada malam hari, terkadang juga ghiza sangat senang kalau turun hujan, ia bisa melihat rintikan air hujan itu dari kamar tercintanya ini.
Wuussss…. Angin malam berhembus dengan lembut, halus dan sangat sangat halus. Ghiza merasa angin itu membelainya, kemudian ia hirup panjang udara itu dengan perlahan. “ Ya Robby, sejuk sekali udara-Mu ini, menjernihkan setiap hati dan pikiran yang mungkin tengah gelisah. Otot-otot saraf yang meregang seolah kini terhanyut dalam ketenangan. Subhanallah… nikmat sekali ya Robb. Tak ada sekecilpun nikmat-Mu yang dapat kami dustakan” lirih ghiza dalam hati.
Ini selalu dirasakan sangat indah. Terlebih ghiza seperti biasanya sebelum pergi berwudhu ia sempatkan sejenak memandangi langit. Hal itu adalah yang paling ia sukai sejak kecil, “ kak, mungkin ngga ya ghiza bisa ke atas sana? Biar ghiza peluk bintang-bintang yang penuh cahaya itu. mereka sering ngedipin ghiza lho kalau ghiza lagi ngeliat mereka. Tu kan, coba kakak liat bintang yang itu!!! ngedipin ghiza kan tu kak” tutur ghiza sambil menunjuk kearah bintang yang dianggap mengedipinya, Fadhil yang saat itu masih kelas 4 SD hanya bisa tersenyum melihat tingkah adiknya. “ uhm…ghiza bisa kok ke sana, mau kakak anter ke sana, heum?”. “ waaah, iya kak? ghiza mau..ghiza mau…”.
Malam ini sangatlah cerah. Ghiza menutup kembali pintu kamarnya, ia beranjak ke ujung teras untuk melakukan hal yang paling ia sukai, melihat bintang-bintang dan rembulan. Seketika Matanya berbinar, ada sedikit air yang membasahi matanya yang kemudian mata itu seolah berkaca-kaca. Sungguh anugerah terindah Allah memberikannya mata. Dengan Mata inilah ia dapat melihat berjuta pesona tiada tara indahnya, dari mata inilah bibir dapat berucap tasbih menyucikan Nama-Nya, dari mata inilah hati merasakan takjub dan basah dengan rasa cinta. Cinta kepada Yang Maha mencintai keindahan.
Anggota tubuh ghiza telah terbasahi oleh dinginnya air wudhu. Ia bersegera menuju kamarnya kembali. Hanphonenya kembali bordering, ia lihat ternyata ada sebuah sms. Dengan agak penasaran ia buka sms itu. pesan singkat dari Fadhil, kakaknya
“Rajin sekali, adekku ni.
Uhm… kakak lega rasanya punya adek yang senang
mengukirkan cinta di sepertiga malam-Nya.
Selamat menikmati jamuan Allah, adekku!!!
Jangan lupa do’akan ayah bunda. ^-^”

Jemari ghiza seketika menari diatas keypad handhonenya

“iiih, dasar spionase!!! Jadi dari tadi kakak liatin ghiza dari mana?
Uhfftt…”

“hehe…
Maaf2, kakak pengen aja liat adek kakak
Yang td lagi tengadah ke langit sambil senyam senyum sendiri
ckckckckckckck”

Ghiza langsung mingkem setelah membaca sms itu, ia jadi malu sendiri. Dikiranya senyum-senyum sendiri tak ada orang yang melihat.
“euh, udah ih malu.( -_-               ‘ “

upz, iya2. Sudah lupakan saja!!!
Sekarang siap2 tu. Allah telah menunggumu
Mengetuk pintu ampunan-Nya.
Udah ya!!!
Assalamu’alaikum”

Ghiza tersenyum greget. Ternyata tadi mulai dari ghiza membuka pintu, berdiri diujung teras hingga selesai berwudhu dan kembali ke kamarnya diperhatikan oleh Fadhil dari balik kaca. Fadhil telah terbangun 15 menit lebih awal dari ghiza. Hal ini memang bukan asing lagi, karena mereka memang selalu mengingatkan dan membiasakan diri untuk bertahajud. Terkadang kalau ghiza sudah melampaui batas waktu yang seharusnya ia terbiasa bangun, fadhil langsung Misscalled ke handphonenya ghiza atau langsung mengetuk pintu kamarnya jika miscalled-nya Fadhil tak mempan juga. Meski sebenarnya sangatlah tidak tega kalau harus melihat adiknya yang masih mengantuk dan mungkin masih lelah harus terbangun. Tapi itu semua Fadhil lakukan demi yang terbaik. Fadhil tanamkan arti sebuah cinta pada adiknya ini dan Fadhil yakin bahwa apa yang dilakukannya untuk membuat ghiza bangun dimalam hari dan bertahajud adalah arti sebuah cinta. Cinta yang tak akan habis oleh masa, cinta yang akan menuntun pada sebuah keabadian dan cinta yang akan mengantarkan pada Yang menganugerahkan cinta.
Fadhil merasa dirinya lah yang bertanggungjawab membimbing satu-satunya adik yang dia sayangi. Selama ini ghiza juga merasa bahwa Fadhil lah yang benar-benar menyayanginya dengan sepenuh hati, Fadhil lah orang yang senantiasa mendengarkan curahan hatinya, Fadhil lah orang yang selalu menegarkan hatinya ketika dirasa rapuh, Fadhil lah yang mengenalkannya pada keindahan dan kesejatian cinta. Ghiza tak pernah merasakan punya keluarga selain Fadhil. Orang tuanya hanya dia anggap sebagai orang yang memenuhi materi dan kebutuhan fisiknya saja, tidak dengan hatinya dan tidak dengan jiwanya.
“kak, kapan ya ghiza bisa punya keluarga lengkap?” keluh ghiza d suatu hari,
“lho, kakak aja belum mikirin tu buat berkeluarga, Kamu masih sekolah gini udah mikirin itu?. wah…wah…wah…Kalah ya kakak sama kamu” jawab fadhil dengan polos tanpa tahu maksud perkataan adiknya.
“glekk, bukan itu kak!!! Ih, bukan bikin keluarga itu yang ghiza maksud…”.
“lah terus?” Fadhil penasaran, ternyata pemahamannya tadi salah.
“ ghiza ingin punya ibu, ghiza pingin punya ayah. Selama ini ghiza hanya punya kakak dan rasanya kayak anak yatim piatu”.
“eh…Astaghfirullah!!! Kamu ga boleh bilang kayak gitu”. Fadhil dengan sekejap mengarahkan pandangannya kearah ghiza yang tengah duduk disamping kirinya.
“ Nyatanya kita punya ayah, kita punya ibu. Mereka yang membesarkan kita Mereka yang mengurus kita sewaktu kita masih kecil dulu, mereka yang berjuang bekerja Untuk menyekolahkan kita. Ridhonya Allah ada pada Ridhonya mereka. Kamu tahu itu, Apa maksud kamu bahwa kita tak punya ayah dan ibu?”.
Sambung Fadhil yang masih tersentak kaget mendengar penuturan ghiza tadi, rasanya dia ingin marah. Dia merasa gagal membimbing adiknya dalam hal agama.
“kak, apa kakak sama seperti mereka? Apa kakak juga tak pernah ingin tahu apa yang ghiza rasakan? Iya, ghiza punya ayah dan ibu. Tapi mereka tak pernah menganggap Ghiza ada, mereka selalu sibuk dengan pekerjaan mereka mengumpulkan materi, Mereka tak pernah punya waktu untuk hati ghiza, mendengarkan curahan hati ghiza. Ghiza hanya ingin kebersamaan kak! Coba kakak ingat, apa pernah kita semua berkumpul bersama? Mungkin untuk sekedar makan bersama pun tak pernah kak. Ayah dan ibu pulang pergi tanpa kita tahu hingga kitapun tak pernah sempat mengecup tangan mereka.
Hiks….”
Hati Fadhil terasa sakit mendengarkan semua itu, dadanya naik turun menahan airmata yang hendak jatuh dari kelopak matanya. Dia baru mengetahui sebegitu sakitnya perasaan ghiza, dia tak bisa mengingkari bahwa perkataan ghiza memang benar. Dia sendiri merasakan hal itu, tapi setiap perasaan itu hadir, dia lebih bisa menepisnya jauh-jauh. Karena jika dibiarkan hanya akan membuatnya rapuh dan siapa yang akan menguatkan ghiza jika dirinya sendiri rapuh? Lelaki menggunakan logikanya sedang wanita selalu menggunakan perasaannya sehingga membuat lebih sensitif dan mudah menangis.
“sudahlah, adekku…”
Fadhil berusaha melegakan hati ghiza dan Ghiza pun berlabuh dibahu fadhil dengan linangan airmata.
“ayah dan ibu sesunggguhnya menyayangi kita, mereka hanya salah mengartikan kasih sayangnya untuk kita, mereka pikir bahwa materi bisa menyukupi semua yang kita butuhkan dan inginkan. Tenanglah, Allah bersama kita, mudah bagi-Nya untuk membolak balikan hati. Sekarang kita hanya bisa berdo’a agar ayah dan ibu lebih bisa memaknai kasih sayang untuk kita bukan dengan materi tetapi dengan hati. Ok?”.
Ghiza hanya mampu mengangguk tanpa berkata-kata.
“ayo, tersenyumlah! Adeknya kakak ga boleh cengeng. Nanti kalo adek kakak ni sedih terus… hmm… ga cantiklah, cepet tua”
“Uhm,, tahukah kau bahwa Malam yang gelap akan segera berlalu? karena sang surya akan meneranginya kembali pada waktu yang telah dijanjikan. Jadilah wanita cantik kepunyaan Allah! Yang melukis kekuatan lewat masalahnya, tersenyum ketika hati menangis, memberkati saat dihina, memesona karena mengampuni. Wanita cantik mengasihi tanpa pamrih dan berkuat dalam do’a juga pengharapan”.
Ghiza menatap mata fadhil lalu mengukirkan segurat senyum padanya.
“nah gitu dong! Itu baru adeknya kakak” fadhil memegang erat lengan kanan bagian atas ghiza, berusaha menegarkannya lalu mengecup ubun-ubunnya.
“jadilah wanita yang paling bahagia, adekku” lirih fadhil dalam hati. Butiran airmata cinta menetes begitu saja membasahi pipi dan hatinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Jika saja bukan karena keridhaan-Mu, Apa yang dapat dilakukan oleh manusia yang seperti debu ini dengan Cinta-Mu? #Izza Rupaida Febriani#