Desiran udara
sejuk mulai menyusup halus, bintang – bintang masih bertaburan dengan sangat indah
melewati detik-detik sepertiga malam. Sesekali ada pula ayam yang berkokok,
bagai sebuah pengingat atau alarm yang telah Allah tetapkan untuk membangunkan hamba-Nya
dan segera bersujud kepada-Nya. Katanya kalau ada ayam berkokok diantara waktu
sepertiga malam, itu pertanda sang ayam melihat para malaikat turun ke langit
dunia untuk mendo’akan orang – orang yang malamnya penuh cinta, orang – orang
yang selalu rindu terbangun dari lelap tidurnya di antara detik-detik sepertiga
malam dan kemudian sujud bermuhasabah. Wallahu’alam.
Sebagian orang
sudah terbangun dini hari layaknya malam ini. Melepas satu per satu ikatan
syaithan yang membelenggu pundak untuk tidak membiarkannya terbangun. Ya,
seperti yang telah diriwayatkan bahwa syaithan memiliki 3 ikatan yang
membelenggu pundak manusia setiap kali tidur. Dalam ikatan-ikatan itu syaithan
membisikan “malam masih panjang, tidurlah kembali”, namun jika saja manusia terbangun
dan ia tetap teguh maka ikatan pertama terlepas, kemudian jika manusia itu
berwudhu maka ikatan kedua terlepas dan jika manusia itu sholat, maka
terlepaslah ikatan yang ketiga. Alangkah nikmatnya dapat melepas semua
ikatan-ikatan yang membelenggu itu, menghiasi catatan sepertiga malam dengan
penuh cinta bersujud kepada Yang Maha Cinta.
“krek..krek..kreek…”
gigi ghiza gemeretak seperti beradu antara satu gigi dengan gigi lainnya.
Setiap kali tidur, dia seperti itu meski memang itu bukanlah secara sadar,
tepatnya ghiza tidak menyadari giginya pada tiap kali tidur beradu dan berbunyi
seperti itu. badannya mulai bergerak dan secara otomatis matanya ikut terbuka
perlahan, ia langsung picingkan mata melihat jam Hello Kitty berwarna pink yang
pernah dihadiahkan oleh sahabatnya ketika ia milad, jam itu menunjukan pukul 01.45
WIB. Ia terhanyut kembali dalam mimpi-mimpinya. Namun 30menit kemudian alarm
dari handhonenya bergetar dan berdering perlahan dengan lantunan nasyid
nantikanku dibatas waktu, edcoustic. matanya
masih ingin terpejam kembali, tetapi hatinya menginginkan ia tetap bangun membulatkan
tekad melepas tiga ikatan yang membelenggu dan bersiap diri untuk bersujud dan
bersyukur kepada Allah , Tuhan seru sekalian alam. Dengan cinta-Nya ia dapat
terbangun kembali untuk menjalani apa yang telah Allah tetapkan untuknya dihari
yang baru ini. Ia mantapkan hati untuk bangkit dari tempat tidurnya, Alhamdulillahilladzii ahyanaa ba’da
maa’amatanaa wailaihi nusuur.
Ghiza beranjak
bangun dengan sesekali mengucek mata dengan punggung tangan kanannya. Ia sisir
rambut panjang dan hitamnya yang terurai lalu mengikatnya dengan ikat rambut
berwarna merah cerah, ia bergerak menuju almari yang berada di sudut kanan
kamarnya untuk mengambil mukena, mukena yang telah terbalut sajadah dan berada
didalam almari itu ia keluarkan dan di simpan di atas tempat tidur.
Perlahan pintu
kamarnya ia buka, ghiza bergegas untuk berwudhu. Kamarnya berada diluar Rumah
utama, memang rumahya di design dengan harus adanya ruangan terbuka, ya! kamar
ghiza inilah yang berada diruang terbuka itu. selain ada kamar ghiza, ruang
terbuka inipun dikelilingi oleh kamar Fadhil, Musholla keluarga, dapur dan dua
kamar mandi. Rumahnya cukup luas sehingga rumah utama yang didalamnya terdapat
ruang tamu, kamar orang tuanya, ruang TV dan perpustakaan atau sekaligus ruang
kerja ayahnya terpisah dengan kamar ghiza sehingga ghiza dapat merasakan Hembusan
angin yang terasa menyejukan hingga sejuknya sampai ke hati pada malam hari,
terkadang juga ghiza sangat senang kalau turun hujan, ia bisa melihat rintikan
air hujan itu dari kamar tercintanya ini.
Wuussss…. Angin
malam berhembus dengan lembut, halus dan sangat sangat halus. Ghiza merasa
angin itu membelainya, kemudian ia hirup panjang udara itu dengan perlahan. “
Ya Robby, sejuk sekali udara-Mu ini, menjernihkan setiap hati dan pikiran yang
mungkin tengah gelisah. Otot-otot saraf yang meregang seolah kini terhanyut
dalam ketenangan. Subhanallah… nikmat
sekali ya Robb. Tak ada sekecilpun nikmat-Mu yang dapat kami dustakan” lirih
ghiza dalam hati.
Ini selalu
dirasakan sangat indah. Terlebih ghiza seperti biasanya sebelum pergi berwudhu
ia sempatkan sejenak memandangi langit. Hal itu adalah yang paling ia sukai
sejak kecil, “ kak, mungkin ngga ya ghiza bisa ke atas sana? Biar ghiza peluk
bintang-bintang yang penuh cahaya itu. mereka sering ngedipin ghiza lho kalau
ghiza lagi ngeliat mereka. Tu kan, coba kakak liat bintang yang itu!!! ngedipin
ghiza kan tu kak” tutur ghiza sambil menunjuk kearah bintang yang dianggap
mengedipinya, Fadhil yang saat itu masih kelas 4 SD hanya bisa tersenyum
melihat tingkah adiknya. “ uhm…ghiza bisa kok ke sana, mau kakak anter ke sana,
heum?”. “ waaah, iya kak? ghiza mau..ghiza mau…”.
Malam ini
sangatlah cerah. Ghiza menutup kembali pintu kamarnya, ia beranjak ke ujung
teras untuk melakukan hal yang paling ia sukai, melihat bintang-bintang dan
rembulan. Seketika Matanya berbinar, ada sedikit air yang membasahi matanya
yang kemudian mata itu seolah berkaca-kaca. Sungguh anugerah terindah Allah
memberikannya mata. Dengan Mata inilah ia dapat melihat berjuta pesona tiada
tara indahnya, dari mata inilah bibir dapat berucap tasbih menyucikan Nama-Nya,
dari mata inilah hati merasakan takjub dan basah dengan rasa cinta. Cinta
kepada Yang Maha mencintai keindahan.
Anggota tubuh
ghiza telah terbasahi oleh dinginnya air wudhu. Ia bersegera menuju kamarnya
kembali. Hanphonenya kembali bordering, ia lihat ternyata ada sebuah sms.
Dengan agak penasaran ia buka sms itu. pesan singkat dari Fadhil, kakaknya
“Rajin
sekali, adekku ni.
Uhm… kakak
lega rasanya punya adek yang senang
mengukirkan
cinta di sepertiga malam-Nya.
Selamat
menikmati jamuan Allah, adekku!!!
Jangan lupa
do’akan ayah bunda. ^-^”
Jemari ghiza seketika menari diatas keypad
handhonenya
“iiih, dasar
spionase!!! Jadi dari tadi kakak liatin ghiza dari mana?
Uhfftt…”
“hehe…
Maaf2, kakak
pengen aja liat adek kakak
Yang td lagi
tengadah ke langit sambil senyam senyum sendiri
ckckckckckckck”
Ghiza langsung mingkem setelah membaca sms itu, ia
jadi malu sendiri. Dikiranya senyum-senyum sendiri tak ada orang yang melihat.
“euh, udah ih
malu.( -_- ‘ “
“upz, iya2.
Sudah lupakan saja!!!
Sekarang siap2
tu. Allah telah menunggumu
Mengetuk pintu
ampunan-Nya.
Udah ya!!!
Assalamu’alaikum”
Ghiza tersenyum
greget. Ternyata tadi mulai dari ghiza membuka pintu, berdiri diujung teras
hingga selesai berwudhu dan kembali ke kamarnya diperhatikan oleh Fadhil dari
balik kaca. Fadhil telah terbangun 15 menit lebih awal dari ghiza. Hal ini
memang bukan asing lagi, karena mereka memang selalu mengingatkan dan
membiasakan diri untuk bertahajud. Terkadang kalau ghiza sudah melampaui batas
waktu yang seharusnya ia terbiasa bangun, fadhil langsung Misscalled ke handphonenya ghiza atau langsung mengetuk pintu
kamarnya jika miscalled-nya Fadhil
tak mempan juga. Meski sebenarnya sangatlah tidak tega kalau harus melihat
adiknya yang masih mengantuk dan mungkin masih lelah harus terbangun. Tapi itu
semua Fadhil lakukan demi yang terbaik. Fadhil tanamkan arti sebuah cinta pada
adiknya ini dan Fadhil yakin bahwa apa yang dilakukannya untuk membuat ghiza
bangun dimalam hari dan bertahajud adalah arti sebuah cinta. Cinta yang tak
akan habis oleh masa, cinta yang akan menuntun pada sebuah keabadian dan cinta
yang akan mengantarkan pada Yang menganugerahkan cinta.
Fadhil merasa
dirinya lah yang bertanggungjawab membimbing satu-satunya adik yang dia
sayangi. Selama ini ghiza juga merasa bahwa Fadhil lah yang benar-benar
menyayanginya dengan sepenuh hati, Fadhil lah orang yang senantiasa
mendengarkan curahan hatinya, Fadhil lah orang yang selalu menegarkan hatinya
ketika dirasa rapuh, Fadhil lah yang mengenalkannya pada keindahan dan
kesejatian cinta. Ghiza tak pernah merasakan punya keluarga selain Fadhil.
Orang tuanya hanya dia anggap sebagai orang yang memenuhi materi dan kebutuhan
fisiknya saja, tidak dengan hatinya dan tidak dengan jiwanya.
“kak, kapan ya
ghiza bisa punya keluarga lengkap?” keluh ghiza d suatu hari,
“lho, kakak aja belum
mikirin tu buat berkeluarga, Kamu masih sekolah gini udah mikirin itu?.
wah…wah…wah…Kalah ya kakak sama kamu” jawab fadhil dengan polos tanpa tahu
maksud perkataan adiknya.
“glekk, bukan
itu kak!!! Ih, bukan bikin keluarga itu yang ghiza maksud…”.
“lah terus?”
Fadhil penasaran, ternyata pemahamannya tadi salah.
“ ghiza ingin
punya ibu, ghiza pingin punya ayah. Selama ini ghiza hanya punya kakak dan
rasanya kayak anak yatim piatu”.
“eh…Astaghfirullah!!!
Kamu ga boleh bilang kayak gitu”. Fadhil dengan sekejap mengarahkan
pandangannya kearah ghiza yang tengah duduk disamping kirinya.
“ Nyatanya kita
punya ayah, kita punya ibu. Mereka yang membesarkan kita Mereka yang mengurus
kita sewaktu kita masih kecil dulu, mereka yang berjuang bekerja Untuk
menyekolahkan kita. Ridhonya Allah ada pada Ridhonya mereka. Kamu tahu itu, Apa
maksud kamu bahwa kita tak punya ayah dan ibu?”.
Sambung Fadhil yang
masih tersentak kaget mendengar penuturan ghiza tadi, rasanya dia ingin marah.
Dia merasa gagal membimbing adiknya dalam hal agama.
“kak, apa kakak
sama seperti mereka? Apa kakak juga tak pernah ingin tahu apa yang ghiza
rasakan? Iya, ghiza punya ayah dan ibu. Tapi mereka tak pernah menganggap Ghiza
ada, mereka selalu sibuk dengan pekerjaan mereka mengumpulkan materi, Mereka
tak pernah punya waktu untuk hati ghiza, mendengarkan curahan hati ghiza. Ghiza
hanya ingin kebersamaan kak! Coba kakak ingat, apa pernah kita semua berkumpul
bersama? Mungkin untuk sekedar makan bersama pun tak pernah kak. Ayah dan ibu
pulang pergi tanpa kita tahu hingga kitapun tak pernah sempat mengecup tangan
mereka.
Hiks….”
Hati Fadhil
terasa sakit mendengarkan semua itu, dadanya naik turun menahan airmata yang
hendak jatuh dari kelopak matanya. Dia baru mengetahui sebegitu sakitnya
perasaan ghiza, dia tak bisa mengingkari bahwa perkataan ghiza memang benar.
Dia sendiri merasakan hal itu, tapi setiap perasaan itu hadir, dia lebih bisa
menepisnya jauh-jauh. Karena jika dibiarkan hanya akan membuatnya rapuh dan
siapa yang akan menguatkan ghiza jika dirinya sendiri rapuh? Lelaki menggunakan
logikanya sedang wanita selalu menggunakan perasaannya sehingga membuat lebih
sensitif dan mudah menangis.
“sudahlah, adekku…”
Fadhil berusaha
melegakan hati ghiza dan Ghiza pun berlabuh dibahu fadhil dengan linangan
airmata.
“ayah dan ibu
sesunggguhnya menyayangi kita, mereka hanya salah mengartikan kasih sayangnya
untuk kita, mereka pikir bahwa materi bisa menyukupi semua yang kita butuhkan
dan inginkan. Tenanglah, Allah bersama kita, mudah bagi-Nya untuk membolak
balikan hati. Sekarang kita hanya bisa berdo’a agar ayah dan ibu lebih bisa
memaknai kasih sayang untuk kita bukan dengan materi tetapi dengan hati. Ok?”.
Ghiza hanya
mampu mengangguk tanpa berkata-kata.
“ayo,
tersenyumlah! Adeknya kakak ga boleh cengeng. Nanti kalo adek kakak ni sedih
terus… hmm… ga cantiklah, cepet tua”
“Uhm,, tahukah
kau bahwa Malam yang gelap akan segera berlalu? karena sang surya akan
meneranginya kembali pada waktu yang telah dijanjikan. Jadilah wanita cantik
kepunyaan Allah! Yang melukis kekuatan lewat masalahnya, tersenyum ketika hati
menangis, memberkati saat dihina, memesona karena mengampuni. Wanita cantik
mengasihi tanpa pamrih dan berkuat dalam do’a juga pengharapan”.
Ghiza menatap
mata fadhil lalu mengukirkan segurat senyum padanya.
“nah gitu dong!
Itu baru adeknya kakak” fadhil memegang erat lengan kanan bagian atas ghiza,
berusaha menegarkannya lalu mengecup ubun-ubunnya.
“jadilah wanita
yang paling bahagia, adekku” lirih fadhil dalam hati. Butiran airmata cinta
menetes begitu saja membasahi pipi dan hatinya.
0 komentar:
Posting Komentar